Pages

September 30, 2010

Saya Nge-Tweet maka Saya Ada

Jadi, seharian kemarin timeline Twitter sudah berubah menjadi ajang pertempuran yang berdarah-darah. Denotatif dan konotatif. Sedari pagi, tweet tentang tragedi Tarakan bermunculan, disusul bentrokan di kawasan Ampera, Jakarta. Seolah belum cukup dengan susunan kata-kata yang membuat bulu kuduk merinding, banyak juga orang yang me-RT foto korban Ampera yang berdarah-darah.


Iya, Twitter adalah social media dimana orang BEBAS mengutarakan apapun pendapatnya. Menulis apapun masalahnya. Sarana pengekspresian diri sendiri. Sarana komunikasi dengan orang lain. Gak ada batasan dalam hal itu (kecuali kalau kita seorang public figure, dimana dengan men-tweet kata-kata yang menurut orang lain kurang pantas, hukuman penjara bisa menanti).


Tapi, seandainya Anda adalah salah satu keluarga, teman dari orang yang wajah berdarah-darahnya terpampang di tweetphoto yang Anda RT, apakah Anda akan tetap semangat menyebarkannya ke seluruh follower Anda? Belum lagi ditambah kutipan bercanda, yang menurut saya tidak pantas diungkapkan, pada seorang yang meninggal seperti itu. Bayangkan apabila Anda adalah anak, keponakan, kakak atau adik dari orang itu. Belum cukup duka yang Anda dapat, kengerian yang didapat dari foto yang disebarkan, ditambah dengan komentar-komentar yang menyudutkan.


Sore harinya salah satu menteri kita muncul dengan tweet yang (menurut saya) offensive terhadap satu pihak tertentu. Tidak salah, memang tidak salah, Twitter adalah sarana mengekspresikan pendapat kita. (lagipula Indonesia "katanya" adalah negara demokrasi, dimana kebebasan berpendapat dilindungi oleh negara). Pro kontra bermunculan kepada menteri itu, mulai dari bahasa halus, sinis, sampai ke kasar menyerang. Saya akui saya termasuk yang kontra, walau tidak sampai menyerang.


Ada yang berkata, kenapa harus diacuhkan? Kenapa tidak membiarkan orang lain nge-tweet seenak dewenya, apabila tidak setuju, ya sudah, tidak usah mencak-mencak, reply, atau malah memulai perang tweet. Saya setuju. Tapi, ada beberapa orang yang berpikir kalo Twitter adalah semacam sarana komunikasi, dimana kita bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang sebelumnya tidak dapat kita sentuh. Artis. Penulis. Penyanyi. Menteri. Bahkan Presiden.


Jadi, orang yang setuju, menyanggah, menyangkal, atau "berperang" di Twitter itupun sebenarnya tidak bisa disalahkan. Fungsi dari Twitterlah yang membuat mereka (termasuk saya) "gatal", tidak mampu berdiam diri, me-reply si menteri, dan berharap si menteri mau membaca pendapat kami yang bertentangan dengan pendapatnya. Apakah itu berarti kami melarang si menteri berpendapat? Oh, tidak. Sekali lagi, Twitter hanyalah sarana berkomunikasi. Pendapat orang boleh berbeda kan, setiap orang berhak menyanggah atau menyetujui.


Membalas atau mengacuhkan. Dua-duanya tidak dapat dibilang salah. Setiap orang punya hak kan? Kalau misalnya Anda merasa terganggu, as simple as clicking "unfollow" button on your twitter. :)


PS. I am not following the minister. I know his tweets from someone that I've followed, and I don't feel doing any mistakes by spreading it to my followers. Lebih banyak orang tau, lebih bagus kan, karena akan lebih banyak orang yang berpendapat. Lain hal dengan foto korban Ampera. Akan lebih bagus kalo kita stop menyebarkannya, atau menyebarkan lewat media pribadi. Sedikit empati gak akan menurunkan follower segitu banyaknya, kan? :)

1 comment:

  1. aku seh follow udah sejak lama...tapi setelah beberapa tweet yang aku baca memang kok kayaknya agak aneh juga... ya bukannya ngurusin apa yang seharusnya dia urus tapi malah ngurusin moral2 orang lain... semoga presiden selanjutnya bisa milih menteri sesuai kompetensinya, nggak sekedar cuma jabatan politis.. Demi Indonesia juga khan

    ReplyDelete