Pages

September 05, 2017

Tentang Zafran dan Speech Delay

Beberapa kali saya ingin membahas masalah delayed speech pada Zafran, cuma semacam kurang pede euy. Karena keterbatasan pengetahuan dan informasi, yang saya tahu ya cuma dari dokter dan hasil googling dari forum-forum semata aja. Jadi disclaimer postingan ini.... saya hanya bercerita sesuai pengalaman yang sudah saya alami dan konsultasi dari beberapa dokter dan psikolog yang menangani Zafran ya.

Cerita awalnya dari mana ya... secara umum tumbuh kembang Zafran memang termasuk normal, walau selalu saja mepet deadline. Saya lupa sih, kapan pertama kali dia membalikan badan, duduk, merangkak, berdiri dan berjalan, tapi seingat saya semuanya masih masuk ke range normal, walaupun selalu saja di akhir-akhir batas usianya. Saya nggak terlalu cemas pada saat itu, toh katanya dulunya juga ayahnya termasuk terlambat berjalan.

Usia 22 bulan Zafran masih belum bisa berbicara, baru bisa babbling “Enah... enah...”. Itupun saya sebenarnya tidak begitu khawatir, walaupun menurut “kurikulum” seharusnya anak 22 bulan sudah harus bisa menguasai beberapa vocabulary. Hanya pada saat itu saya membuat kesepakatan dengan ayahnya, apabila pada saat usia 2 tahun Zafran belum ada perkembangan, akan kami konsultasikan dengan spesialis anaknya.

Saat Zafran usia 24 bulan, dan belum ada perkembangan dari babblingnya saat itu, saya dan suami datang ke spesialis anak langganan kami. Kebetulan DSA ini juga mengikuti tumbuh kembangnya Zafran, dan dia langsung menyimpulkan sepertinya anak kami memiliki speech delay. Waktu itu kami khawatir sih, cuma karena kurangnya informasi, ya kami menyangka kalau speech delay itu hanya terlambat berbicara tok. DSA mereferensikan kami ke dokter rekam medis, setelah dikonsultasikan dan tes pendengaran (alhamdulillah pendengaran Zafran baik-baik saja, sebenarnya waktu itu selain babbling Zafran juga sudah mulai bisa humming beberapa lagu, hanya memang belum bisa berkata sepatah katapun), Zafran didiagnosa speech delay. Dokter rekam medis saya di Hermina akhirnya “meresepkan” terapi wicara seminggu sekali.

Waktu itu pun saya mengira speech delay ini hanya berpengaruh terhadap kemampuan bicara saja. Zafran memang aktif, walau belum bisa disebut hiper, dan concentration span-nya pendek sekali. Tapi kan memang anak-anak belum bisa berkonsentrasi dalam jangka waktu lama bukan? Zafran sama sekali tidak suka nonton TV pada saat itu, tidak suka duduk bermain, senangnya jalan atau lari-lari saja kesana kemari di rumah. Nonton video pendek dia masih senang, hanya saya batasi karena salah satu saran dari terapisnya adalah mengurangi audio visual di rumah. Orang-orang di sekitar saya berkata, “Ah, anak kecil kan memang seperti itu, gak mau diem” atau “Ah itu mah anaknya belum bisa aja kali, nanti juga bisa sendiri” atau “Anak gw juga dulu gitu kok, nanti juga pinter sendiri udah gedean”, akhirnya saya mencoba membiarkan, walau rasanya memang ada yang salah dengan konsentrasi Zafran.

Selain itu, walaupun Zafran termasuk lincah, akan tetapi Zafran tidak suka bermain di playground yang ada tantangannya. Misal naik perosotan, naik ayunan, naik tangga atau semacamnya, sementara teman-teman sebayanya asyik memanjat-manjat. Naik sofa aja dia nggak mau lho. Inipun saya maklumi dalam hati, karena yaaa.. mungkin memang tipe anak saya seperti itu.

Selain itu, Zafran pun sulit diberi makanan yang keras. Ini memang sedikit banyak salah saya, karena waktu itu saya terlalu menyerahkan perihal makanan kepada pengasuh. Saya memang memasak makanan Zafran sendiri, akan tetapi pengasuh saya sering mengeluh apabila makanan tersebut tidak berkuah karena menurutnya Zafran sulit menelan. Waktu Zafran masih 8 atau 9 bulan pun saya pernah memergoki nasi tim yang saya siapkan dihaluskan lagi oleh pengasuh saya agar mudah ditelan. Padahal saya ingin Zafran bisa belajar mengunyah, akan tetapi saya saat itu pada posisi yang sangat membutuhkan pengasuh, dan akhirnya saya biarkan saja.

Setelah empat bulan terapi wicara, Zafran mengalami banyak perkembangan. Walaupun pengucapannya banyak yang tidak begitu jelas, Zafran sudah mulai mengenal beberapa kosa kata. Pengucapannya baru satu huruf, dan pertanyaannya belum terlalu jelas, akan tetapi pengenalan terhadap benda-benda di sekitarnya sudah lumayanlah. Akan tetapi komunikasi dua arahnya masih jelek sekali. Singkat cerita saya belum bisa ngobrol sama anak saya sendiri.

Pada saat itulah ada ketakutan Zafran menderita autisme. Dokter rekam mediknya meyakinkan saya bahwa Zafran tidak autis, karena responnya masih baik. Akan tetapi memang komunikasi dua arah, konsentrasi dan motorik kasar dan halusnya masih jelek sekali. Kemudian Zafran “diresepkan” terapi Sensori Integritas dan Okupasi untuk melatih konsentrasi dan motorisnya. Oh iya, waktu itu apabila Zafran diajak mengobrol, alih-alih menjawab, dia malah menirukan (imitasi) apa yang saya katakan. Dokter rekam mediknya juga menyarankan agar di rumah Zafran sering-sering diajak berbicara tentang apa saja, agar terbiasa berkomunikasi dan menambah kosa katanya.

Dua bulan setelah itu saya resign. Selain lelah dengan pekerjaan, saya juga merasa bersalah dengan kondisi anak saya. Saya tahu kalau mungkin ini bukan salah saya semata, tapi dokter berkata salah satu penyebab speech delay anak saya adalah kurangnya stimulasi di rumah. Memang benar ada anak yang tumbuh kembangnya baik-baik saja tanpa harus ada stimulasi apapun, tapi sayangnya anak saya tidak termasuk anak-anak itu. Penyebab lain speech delay adalah oral-motor issues yang dapat disebabkan oleh autisme. Akan tetapi dokter saya meyakinkan saya kalau Zafran tidak autis, dan penyebabnya lebih ke stimulasi dan efek psikologis dari cara membesarkan anak di rumah.

Setelah Zafran setahun diterapi, saya berinisiatif mendatangi salah satu psikolog yang juga memiliki development center untuk anak berkebutuhan khusus. Tempat terapinya ini sudah ada dimana-mana jadi sepertinya kredibilitasnya cukup baik. Saya menanyakan hal yang sama, apakah anak saya memiliki autisme. Jawabannya tetap tidak. Zafran memiliki apa yang dinamakan speech delay in absentia, dimana gangguan konsentrasinya cukup parah. Dia juga mengiyakan apa yang dikatakan dokter rekam medik saya yang terdahulu, bahwa penyebabnya adalah stimulasi dan cara parenting di rumah. Selama ini saya membiarkan Zafran menggunakan tangan kanan dan kirinya, ternyata itu tidak dianjurkan. Saya baru tahu kalau Zafran sebaiknya dianjurkan menggunakan tangan kanannya, agar otak kirinya bisa terus bekerja, dan meningkatkan daya konsentrasinya. Hanya boleh menggunakan satu bahasa saja di rumah. Tidak mengiyakan permintaan anak kecuali si anak mengatakan apa maunya. Terkadang saya suka mengambilkan susu misalnya apabila Zafran menunjuk susu. Hal itu sebaiknya dihindari, supaya anak bisa menyampaikan maunya melalui kata-kata.

Selain itu penggunaan gadget, tv atau bentuk audio visualnya saya kurangi. Zafran diminta diet gula dan gluten oleh psikolognya, dan saya ikuti. Sebisa saya. Hehehehe. Untungnya Zafran belum dibiasakan jajan, sehingga dia jarang meminta biskuit atau wafer. Roti dan mie juga saya kurang seminggu sekali. Yang sulit memang kerupuk (!) dan susu uht vanilla, karena sejak lepas ASIP, Zafran saya beri sufor berperasa, jadinya setelah itu dia tidak mau susu UHT yang plain.

Saat ini Zafran mengikuti 4 jenis terapi, behaviour therapy, sensory integrity, terapi wicara dan okupasi terapi. Total terapinya enam jam saja seminggu. Selain itu Zafran saya ikutkan playgroup dari Senin sampai Jumat untuk mengasah aspek sosialnya, karena salah satu efek dari speech delay ini adalah kurangnya tingkat sosial anak dan kesulitan bonding dengan teman sebaya. Banyak kok yang komentar kasian banget anak umur tiga tahun sudah “disekolahkan” sedemikian rupa. Saya juga kadang kasian kok liat Zafran. Cuma sekarang anaknya sudah terbiasa, jadi sepertinya dia enjoy saja. Tidur siang saja sudah jarang. Untungnya sekolah alam dan tempat terapi yang dia ikuti punya konsep yang fun, sehingga anaknya seperti diajak bermain. Saat ini malah Zafran lebih excited kalau harus terapi dibanding sekolah, hehe..

Di rumah saya juga melakukan “terapi” pada Zafran. Dari mulai saya ajak bicara terus-terusan, menggambar, mewarnai, membaca kartu. Sebenarnya hal-hal yang remeh keliatanya, tapi percaya deh sulit dilakukan pada anak yang tingkat konsentrasinya rendah.

Sekarang usia Zafran tiga tahun tujuh bulan. Tepat hari ini. Kosa katanya sudah lumayan sekali, terapisnya bilang dia termasuk anak yang mudah mengingat. Sudah bisa berkomunikasi lumayan baik, walau kadang-kadang orang lain (selain saya) suka kurang memahami perkataannya. Masih suka out of place di tengah pembicaraan, yang diomongin apa, tau-tau dia nyeletuk apa atau nyanyi apa. Sulit dijelaskan, bakalan tahu kalau sudah pernah berinteraksi dengan Zafran. Sudah bisa naik tangga sendiri, tapi turun tangga masih suka takut. Sudah mau main perosotan, walau kadang suka mandeg di puncak atau teriak-teriak heboh pas meluncur kebawah.

Kadang saya suka takut membayangkan masa depan anak saya. Saat ini semuanya masih abu-abu, suami saya sih bilang sepertinya Zafran itu normal walau termasuk yang terlambat. Saya masih takut sih, walaupun saya yakin pasti ada jalan kedepannya. Tahun depan Zafran seharusnya masuk TK A, apakah dia sudah bisa dimasukkan TK? Apa dia bisa masuk SD sesuai dengan jadwalnya? Saya nggak tahu. Yang pasti saat ini saya dan suami berusaha memberikan yang terbaik aja buat Zafran, selama kami bisa.


August 23, 2017

After Resign

Nggak kerasa awal September nanti adalah tepat satu tahun setelah saya berhenti bekerja. Seriusan nggak kerasa, Satu tahun, saya nggak nyangka saya bakal bisa betah di rumah selama itu. Saya kira sebentar saja saya bakal merengek frustasi ke suami supaya bisa kerja lagi (it happened! Sometimes!) atau stress karena di rumah terus-terusan. Banyak sekali perubahan di kehidupan saya, cerita sedikit saja ya... siapa tahu ada yang mau membaca dan terinspirasi untuk resign juga :p

Keuangan

Dari awal merencanakan untuk mengundurkan diri, memang keuangan merupakan salah satu hambatan utama saya. Karena suami dan saya merupakan kelas pekerja, ya kalo nggak bekerja ya udah, nggak bisa ngapa-ngapain. Nggak bisa berharap dari orang tua apalagi warisan. We are one of that sandwich generation, kalo kata Ligwina Hananto. Makanya keuangan menjadi concern utama, bagaimana nanti dana pendidikan Zafran, bagaimana membantu orang tua dan adik masing-masing, dan bagaimana KPR lunas (!!!). Itu garis besarnya sih. Tapi jauh di lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya saya sedikit ngeri mengubah lifestyle. Hahahaha, receh banget nggak sih? Tapi jujur aja, pasti ada yang mikirin ini juga kaaaan? Masih bisa jalan-jalan keluar pulau (atau keluar negeri) tiga bulan sekali atau nggak (which is sulit juga dilakukan waktu saat bekerja sih, permohonan cuti aja diinterogasi setengah mati #curcol), masih bisa nongkrong cantik di coffee shop favorit apa enggak, masih bisa beli liquid lipstick sekaligus enam apa enggak (lagian beli sekaligus enam, bibir cuma satu -___-). Saya juga berpikir seperti itu, walaupun beberapa teman saya meyakinkan kalau ketakutan itu nggak akan terjadi. Kuncinya adalah suami yang pengertian. Hahaha...

Setelah saya resign dan saat ini belum memiliki penghasilan sendiri, ketakutan saya banyak yang nggak terbukti lho. Kok masih bisa ya pergi kesana sini, have fun, online shopping dimana-mana? Tentunya semua juga terbatas sih, tapi jaman dulu bekerja juga semua ada batasnya juga. Mengalami tanggal tua? Sebelum dan setelah bekerja saya masih mengalami tanggal tua. Jadi perbedaannya apa?

Tampaknya pekerjaan saya yang bikin stress setengah mati membuat saya menganggarkan satu post keuangan untuk membuat saya tetap waras. Nah itulah biasanya yang membludak setengah mati. Sekarang saya di rumah jarang punya waktu luang membosankan untuk googling online shop dan tiba-tiba klik sana sini dan belanja. Kadang terjadi sih. Tapi nggak separah dulu waktu masih bekerja. Intinya nggak seseram yang saya bayangkan sebelum ini. Minimal, walaupun dana pensiun masih belum terkumpul tapi dana darurat sih masih ada yaaaa...

Kenapa nggak usaha, cari uang sendiri? Kan akan lebih baik kalau wirausaha, jadi womenpreuner atau apapun itu? Yang pertama, nggak bakat. Hahaha.. Yang kedua, pemalas. Iya loh, saya pemalas. Yang ketiga, ada satu alasan yang sebenarnya malas diceritakan disini karena kesannya pembelaan diri aja, jadi kita skip aja yaaa... #nggakniat

Sehari-hari

Sebelum resign : Kerja
Setelah resign : Kerja

Loh kok sama sih? Ya iya emang, kadang malah saya nggak punya banyak waktu buat leyeh-leyeh di rumah karena harus jadi uber driver, koki, guru dan dokter buat anak saya. Emang ya, punya anak sekarang itu riweuh banget, jaman dulu kayanya dilepas aja bebas. Tapi emang mau apa anak dilepas kesana kemari? Belum awal-awal resign saya menganggap ibu rumah tangga harus accomplish yang sama dong sama ibu bekerja. KPI-nya harus memuaskan. Tapi capek banget loh kaya gitu, malahan jadi suka kesel sama anak sendiri. Mending yang cukup-cukup aja, cukup memuaskan.
Kangen kegiatan kantor? Ih, banget. Tapi bukan kangen kerjanya. Kangen bisa istirahat sebentar sehabis makan siang. Kangen bisa makan siang dan ngobrol sama temen kantor. Kangen gajian. Ah, ini mah saya aja kali, kurang berambisi.

Happy nggak?

Pernah baca di blog seseorang, kalau nggak salah Leija's, kalo happiness is process, not result. Menurut saya ya kebahagiaan saya saat ini ya proses juga. Naik turun. Sama ajalah pas masih bekerja. Kadang ada saatnya saya wondering, hidup begini amat ya, udah susah-susah cum laude tetep aja berkutatnya di dapur. Tapi ada saatnya juga saya menyesal kenapa nggak resign dari anak saya lahir aja dan megang anak sepenuhnya. Kadang saya sedih nggak bisa bantu suami cicil-cicil KPR. Tapi kadang saya juga senang saat ini bisa punya waktu senggang, bisa lari pagi, bisa belajar masak dan bisa berkomunikasi sama anak lebih baik.

Jadi resign jangan?

Ya jangan lah. Hahahahaha. Semua tergantung sih, saya merasa pekerjaan saya yang dulu not worth it. Makanya resign. Bukannya saya bilang kalau ada pekerjaan yang sebanding sama anak dan keluarga ya, tapi saya percaya kalau perempuan itu punya hak untuk memilih. Lagipula kebahagiaan ibu saat berpengaruh kepada kebahagiaan keluarganya juga, ya nggak?

August 20, 2017

Dear God...

I. CAN'T. SLEEP.

TOO MANY THINGS HAVE HAPPENED. I think I've been overstimulated. Oh, and coffee. Is a bitch. Not really, it was pretty good but now I am still awake.

God. How reality sucks. I mean, there are many things I should be grateful for. Healthy life. Healthy family. Good food. Premiere of The Defenders. But when you become adult, practically everything  sucks, doesn't it? Or am I becoming a cynic?

I must be rambling. Tommorow, or next month when I read this post, I am going to decide if I have to delete it because it is so embarassing. I never delete a post. EVER. Oh. That was one time I post something about a life of a friend. Didn't mention her name but still she objected it, so I removed it to draft. Still haven't deleted it, I think, I'll consider to repost it sometimes. I guess it'll be fine since she never read my blog again. I think.

So, I have to wake up at 5. Now 2.45. Sucks. I planned to go running in the morning but I have no idea whether I'll be able to. One day when my son gets older and he reads my blog, will he think that I was an incompetent mom? Struggling to get a sleep while he needs to be fed in the morning?

I have to put my phone away. Yeees, I've done it before. So many times. But still can't sleep. Let's do it again. One more time.

August 01, 2017

29..

Turned out to be good. Maybe because I am a grown up, I didn't make a fuss about it. But surprise, surprise! Husband brought flowers and cake in my birthday eve, we ended up having some cakes on Saturday night. Last he bought me a cake is.... eight years ago? Haha. Anyway, on Saturday, husband and I had a quiet lunch together, I had fried chicken steak and he had Nasi Campur Bali. And because his plate looked tastier, I asked him to switch plate with mine. What a wonderful husband, haha.
On Sunday, we went to Kebun Raya Cibodas. It was our first time. Overall we had good time although son a bit complained because at first we planned to go to Taman Bunga. But we bribed him with choco peanut ice cream at Spatula and all is well. Son was asleep early that night, so we decided to watch Miss Peregrine's movie. That's it. What a weekend. What a 29's celebration.

June 13, 2017

Read

So, I've been assigning myself a reading chore. I was a heavy reader back then, but as life happened, social media happened and everything else, I rarely read anymore. Or limited myself to something light and entertain. Some metropop or chicklit.

But then, I made time. And Big Bad Wolf happened. Hah, I was quite unsure that I only joined the hype and people often said that they haven't had time to read the books they bought in Big Bad Wolf so I only purchased few. But, somehow an online shop in Instagram offered a big deal of Century Trilogy. I was baffled and hesitated. I was asking myself whether I was ready to commit myself, because reading a trilogy of nearly-1000-pages is hard chore for me, who is housewife, yes,  but I am having three years old kid!

The second point is the book is in English. I read Ken Follet's before and even in Bahasa, I found it overwhelmed and confusing, so many characters and place, old English, Welsh vocabulary. I didn't know whether Fall of Giants have been translated, and once again it was a good deal, three books for only 200k. So I braced myself.

It was a month ago, and now I am on book three! I have no regret, first book is stunning, I almost couldn't stop myself reading it. The second one is harder, there are many left wing-right wing discussion, I had to google differences between Communist and Fascist but I finished it anyway. Now, I am having third book and they already talked about Berlin Wall. Okay, way to go Ken Follet!

June 05, 2017

Galau Senin

Galau Senin ini dipersembahkan oleh kepergian kembali bapak suami untuk bekerja setelah empat hari kemarin full di rumah.

Kalau dihitung-hitung.. tahun ini saya dan suami sudah lima tahun menjalani long distance marriage. Sebelum itu kalau ga salah sih.. sekitar dua tahunan pacaran juga LDR-an. Nggak terlalu jauh sih... tapi untuk ukuran jalanan yang macet luar biasa, ya lumayan juga... cuma bisa ketemu seminggu sekali pas weekend aja.

Dulu waktu belum punya anak (dan load kerjaan saya belum sebanyak kemarin ini!) rasanya tinggal di dua kota yang berbeda nggak terlalu jadi masalah deh. We were treating weekend like short time holiday. Santai aja dan dibawa asyik. Dan masih muda juga kali yaaa.. jadi nggak terlalu dipikirin juga. Saya sempat berpikir kalau nanti sudah punya anak lebih happy kali ya.. saya nggak kesepian banget ditinggal suami kerja tiap hari Senin.

Eh, ternyata setelah punya anak kondisinya malah berbeda. Kebutuhan buat suami selalu ada semakin kuat. Iya sih, waktu itu Zafran masih bayi dan belum ngerti apa-apa, ada kakek neneknya juga yang siap membantu, tapi adakalanya pola pengasuhan yang berbeda membuat saya stres juga. Dan waktu itu saya nggak bisa berbuat apa-apa. Wong saya yang butuh kok. Saya kerja, suami jauh.

Zafran semakin besar saya pikir akan semakin mudah. Ternyata tidak. Bagaimanapun support system yang kuat di sekitar saya, ada hari-hari dimana saya menginginkan bisa tinggal serumah seperti pasangan lain (pada umumnya).

Setelah saya resign, usaha untuk tinggal serumah sudah mulai dilakukan. Walau ternyata nggak segampang itu sih. Masalah lokasi, biaya, fasilitas untuk anak, itu yang saat ini sedang dicoba diselesaikan satu-satu. Selama itu, mari menjadi Wonder Woman dulu selama lima hari kedepan!

PS. Posting ini disponsori perasaan galau bukan kepalang karena suami salah beli tiket kereta, jadinya harus naik bogoran (padahal puasa!) dan istrinya jadi nggak bisa tidur kepikiran. Pahalanya mudah-mudahan berlipat ganda ya beb.. amin!

June 03, 2017

Things to be grateful for.

Bisa puasa di rumah sendiri. Buka puasa sama bubur buah dan risol pedes yang udah bikin ngidam dari hari pertama puasa.

Setelah memaksakan diri ga mainan sosmed sebanyak biasanya, ternyata bisa selesai juga loh Fall of Giants! Off to book number two.

Last episode of The Handmaid's Tale. I am so shipping Nick and Offred, I wish she'll never reunite with her husband, hehe.

Setrikaan beres! Ini sangat ter-emak banget ya.

Bikin kaldu daging yang rasanya enak.

Coffee!

Suami ada di rumah dari Kamis, terus Jumat, terus besok masih Sabtu dan Minggu. Super yay (walau kalo ada dia masak2nya harus rada effort ya... bye nugget for sahur)

May 29, 2017

Klise amat ga sih kalau saya bilang.. ga kerasa yah udah Ramadhan lagi? But it is! Time flies rapidly... dan saya rada freaking out karena sebentar lagi bulan Juni. Jujur awal resign saya sempat membayangkan waktu akan berlalu sangat lambat karena kebosanan. Ternyata menjadi ibu rumah tangga itu juga sesuatu yang menyibukkan dan exhausting. Who knows? No offence yaa.. karena benar-benar ga kebayang kalo sibuknya kayak begini amat. Padahal anak baru satu. Makanya kalo tanya Zafran kapan punya adik, we'll wait and see lah. Saat ini memang saya tidak punya ART apalagi nanny (!) tapi kalo seandainya nanti saya merencanakan (atau dianugrahi) anak kedua, sepertinya ga sanggup deh kalo cuma sendirian. 😅

Berkah di bulan Ramadhan ini akhirnya saya sekeluarga bisa pindah lagi ke rumah sendiri setelah renovasi selesai. Home sweet home! Jadi selama renovasi 3 bulan lebih kemarin, saya ngungsi dulu di kontrakan. How I missed my own home! Padahal secara lokasi kontrakan juga ga jauh, memang katanya you'll never know what you have until you lose it. Kemarin mepet banget pindahan sehari sebelum puasa.. karena pingin banget bulan puasa ada di rumah. Alhamdulillah bisa terlaksana.

Daaaaan... ngomong-ngomong soal puasa... ini pertama kalinya saya puasa sambil menjadi ibu rumah tangga tanpa ART. Wish me luck? Kemarin masih ada suami di rumah.. mulai hari ini saya sendirian lagi sama bocah di rumah. They said mothers are the strongest, ini ga dilebay-lebayin deh. Mothers are literally busiest people, saya rasa. Four thumbs up deh buat working mothers, saya aja ga tau dulu kok bisa ya. Banyak kompromi sih kuncinya. Dan banyak tawakal aja.

Kangen kerja? OMG YES. Jujur kemarin-kemarin saya belum merasakan kekangenan kembali kerja dan punya gaji sendiri.... tapi akhirnya awal bulan ini saya merasakannya. Aduh... beneran deh pingin kerja lagi. Dan beneran deh galaunya mau ninggalin anak lagi. The struggle is real. Semua pilihan memang ada konsekuensinya. Kalau dibilang self-sacrifice sih saya ga setuju ya.. karena saya ga merasakan mengorbankan apapun dengan tidak kerja saat ini. Semua pilihan saya kok. Dan kalau bilang pilihan bekerja itu egois, ga juga kok. Banyak ibu bekerja dengan seribu alasan yang ga egois. Tapi buat ibu yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus rasanya ingin selalu memantau perkembangan anak setiap hari. I really wish he's progressing well (which he is) sehingga suatu saat saya bisa mantap lagi ingin kembali bekerja. Nanti kalau udah kerja, mudah-mudahan gak kangen leyeh-leyeh di rumah hahaha.