Pernah nggak si diceritain masalah yang itu-itu aja sama seorang teman dan ngerespon berkali-kali tapi tetep aja dia datang dengan masalah yang itu-itu juga dan finally lo ngerasa, "it's enough, I've already told you that!"?
Jadi saya punya seorang teman, sebut saja namanya Melati. Classic problem, dia deket sama seorang cowok (who happens to be my friend, also), sebut aja namanya si Boy, jatuh cinta, menemukan masalah, putus. Masalahnya klasik juga, ternyata si cowok ini brengsek dan nggak pernah putus dari pacarnya yang lama, which is that he has been telling my friend all the time. Dan sekarang si cowok itu meneruskan hubungannya sama pacar lamanya, sementara Melati tertinggal di luar sana. Sendirian.
Tapi, karena namanya temen sepermainan, jadilah kita (saya, Melati dan Boy) masih sering berinteraksi, dan si Melati mulai sering mengeluh kalau si Boy ini masih sering flirting ke dia walaupun dalam kenyataannya Boy udah ngelamar pacarnya dan mau menikah tahun ini. Melati ini juga mengeluh kalo dia susah move on, karena pada dasarnya Melati masih ada feeling sama Boy. Dan mulailah hari-hari penuh penderitaan dimana Melati terus-terusan mengeluh ke saya, "Boy gilak deh, kemaren gue telponan sama dia semalaman." "Boy katanya mau nikah sama pacarnya tahun ini, terus dia minta doa restu gue." "Anjis, gue udah nggak tahan sama Boy, kesel banget gue masa dia ngajakin gue jadi selingkuhannya?"
Dan respon saya? Selalu sama. Abaikan. Jauhi. Karena pada prinsip saya, ketika putus dari seseorang, apalagi itu bukan in a good term, saya akan memutuskan segala komunikasi dan hubungan dulu. Sampai kapan? Ya sampai saya pulih. Sampai saya nggak memandang dia lagi dan masih merasakan hal yang sama (eh jieee..). Tapi serius deh. Kalo misalnya perasaan itu nggak bisa ilang? Ya, jauhi selamanya.
Tetapi Melati ini came with her own term. Said she still wants to be friend with Boy. Still receiving his calls, replying his messages, listening all his complaints, although I know for sure that they all are Boy's excuse to get into her. Dan tahu gimana itu berakhir? Dengan keluhan lagi dari Melati. Kenapa dia begitu bego mau mendengarkan semua bullshit-an Boy padahal dia tau kalo semua itu cuma cara Boy ngedeketin dia lagi.
Entah udah berapa kali Melati berjanji untuk move on. Entah berapa kali dia janji untuk lebih menyayangi diri dia sendiri, dan stay away dari Boy. Semuanya kembali ke titik yang sama juga. Disaat Boy ada, Melati menghampiri, mencoba berteman. Boro-boro mau cari pacar baru, hidupnya muter aja seputeran Boy.
Sebagai teman yang baik, tentunya yang bisa saya lakukan ya cuma menasihati. Merespon. Memberi saran, langkah apa yang harus dilakukan. Dan ketika saran itu diabaikan dan kejadian yang sama terulang lagi, saya cuma bisa menghela nafas. Saya sayang Melati, dan ingin yang terbaik buat dia. Tetapi pada akhirnya, kita hanyalah dua orang dewasa, dua pribadi yang berbeda, yang punya hak untuk memutuskan apa yang terbaik untuk hidupnya. Saya nggak legowo, jujur aja, saya marah meliat Boy memperlakukan teman saya sebegitu rupa. Tetapi kalau Melati mempersilakan dirinya diperlakukan seperti itu, saya bisa apa kan?
Dan saat ini, saat ini saya berusaha ikhlas. Berusaha menerima segala hal yang akan dilakukan Melati ke hidupnya. Hanya mendoakan yang terbaik buat Melati. Karena saya tahu sekeras apapun saya berusaha, hal nggak bakal berubah kalau Melati nggak mau mengubah dirinya sendiri. Atau mungkin sebenarnya dia nggak mau berubah dan hanya berusaha berubah karena it's right thing to do but it's not thing that she wants? Entahlah, I am trying not to judge her.
PS. Buat Melati, you know who you are. I love you no matter what, no matter what you do. Tapi Allah nggak bakal mengubah nasib suatu kaum, apabila kaum tersebut tidak berusaha. So do you.. :)
No comments:
Post a Comment