Temen saya, Melati, pernah bilang "rumah itu bukan buat kerja, kerja itu di kantor". Hal ini sebenarnya masih jadi dilema sih (cie dilema..) bagi saya.
Untuk saat ini sih, karena keadaan, saya masih hidup terpisah dengan suami. Kalau misalnya nanti saya dan suami sudah hidup bersama, dan memiliki anak, which one will I choose? Work overtime at office or work at home? Sebagai manusia biasa pada umumnya, tentu ingin kalau kehidupan personal itu terpisah dengan kehidupan di kantor. Betapa indahnya, kalau misalnya rumah bisa menjadi tempat khusus untuk keluarga, sosialisasi dengan teman, istirahat, me-quality time, tanpa terintegrasi dengan kehidupan kantor atau pekerjaan.
Sebelum menikah, saya adalah orang yang saklek dengan "kerjaan kantor nggak boleh dibawa pulang". Mau semalam apapun, saya memilih untuk mengerjakan di kantor demi menjaga kesakralan rumah sebagai my own home, not an office. Saya sangat jarang mengerjakan apapun di rumah, kecuali untuk buka email atau cek-cek sesuatu. Waktu saya masih bekerja di kantor pertama, Sabtu dan Minggu sering sekali saya habiskan di kantor untuk melalap habis pekerjaan.
Setelah menikah, sebagai credit analyst yang job desc-nya jauh dari 8 to 5 schedule, tentunya susah untuk pulang tepat waktu ke keluarga karena terkadang ada saja kerjaan yang menuntut kita untuk bekerja overtime, terutama ketika deadline sudah menanti-nanti. Bagi saya pribadi, hal ini terpaksa membuat saya melanggar komitmen saya sendiri ketika pertama kali bekerja. Alasannya apa? Karena saya ingin menghabiskan waktu saya dengan keluarga/suami walaupun sebentar. As simple as that. Memang kualitas bertemu akan berkurang karena saya curi-curi waktu untuk bekerja. Tapi kalau misalnya istirahat selama lima menit dari pekerjaan bisa dihabiskan dengan cuddling dengan suami? It's priceless. Asal jangan kelewatan lho. =p
Sabtu dan Minggu pun sekarang saya habiskan di rumah. Ya alasannya itu diatas, for the sake of our limited time. Tentunya hal ini membutuhkan komitmen yang besar juga sih, karena kerja di rumah itu banyak sekali godaannya. Tapi kalo komitmen ini bisa dijaga dengan baik, insya Allah, we can do both, family and work.
Saya terinspirasi juga dengan Mas Andri Pradono. Mas Andri ini punya prinsip, nggak papa dia kerja overtime, selama dia bisa melakukan itu di rumah. Nggak jarang dia bekerja setelah istri dan anaknya tidur. It's a wow.
Saya nggak tahu deh kalo misalnya saya punya anak gimana. Belum bisa membayangkan apakah saya sanggup bekerja dengan "gangguan" anak, atau bisa menahan diri dari kelucuan anak. Let's think about it later. Mudah-mudahan kedepannya komitmen di keluarga dan pekerjaan bisa berjalan dengan baik di kehidupan saya ya! :D
PS. Terima kasih Melati atas inspirasinya.
PPS. Terima kasih juga untuk survey work-life balance yang diadain kantor saya sehingga menginspirasi tulisan ini. :)
Untuk saat ini sih, karena keadaan, saya masih hidup terpisah dengan suami. Kalau misalnya nanti saya dan suami sudah hidup bersama, dan memiliki anak, which one will I choose? Work overtime at office or work at home? Sebagai manusia biasa pada umumnya, tentu ingin kalau kehidupan personal itu terpisah dengan kehidupan di kantor. Betapa indahnya, kalau misalnya rumah bisa menjadi tempat khusus untuk keluarga, sosialisasi dengan teman, istirahat, me-quality time, tanpa terintegrasi dengan kehidupan kantor atau pekerjaan.
Sebelum menikah, saya adalah orang yang saklek dengan "kerjaan kantor nggak boleh dibawa pulang". Mau semalam apapun, saya memilih untuk mengerjakan di kantor demi menjaga kesakralan rumah sebagai my own home, not an office. Saya sangat jarang mengerjakan apapun di rumah, kecuali untuk buka email atau cek-cek sesuatu. Waktu saya masih bekerja di kantor pertama, Sabtu dan Minggu sering sekali saya habiskan di kantor untuk melalap habis pekerjaan.
Setelah menikah, sebagai credit analyst yang job desc-nya jauh dari 8 to 5 schedule, tentunya susah untuk pulang tepat waktu ke keluarga karena terkadang ada saja kerjaan yang menuntut kita untuk bekerja overtime, terutama ketika deadline sudah menanti-nanti. Bagi saya pribadi, hal ini terpaksa membuat saya melanggar komitmen saya sendiri ketika pertama kali bekerja. Alasannya apa? Karena saya ingin menghabiskan waktu saya dengan keluarga/suami walaupun sebentar. As simple as that. Memang kualitas bertemu akan berkurang karena saya curi-curi waktu untuk bekerja. Tapi kalau misalnya istirahat selama lima menit dari pekerjaan bisa dihabiskan dengan cuddling dengan suami? It's priceless. Asal jangan kelewatan lho. =p
Sabtu dan Minggu pun sekarang saya habiskan di rumah. Ya alasannya itu diatas, for the sake of our limited time. Tentunya hal ini membutuhkan komitmen yang besar juga sih, karena kerja di rumah itu banyak sekali godaannya. Tapi kalo komitmen ini bisa dijaga dengan baik, insya Allah, we can do both, family and work.
Saya terinspirasi juga dengan Mas Andri Pradono. Mas Andri ini punya prinsip, nggak papa dia kerja overtime, selama dia bisa melakukan itu di rumah. Nggak jarang dia bekerja setelah istri dan anaknya tidur. It's a wow.
Saya nggak tahu deh kalo misalnya saya punya anak gimana. Belum bisa membayangkan apakah saya sanggup bekerja dengan "gangguan" anak, atau bisa menahan diri dari kelucuan anak. Let's think about it later. Mudah-mudahan kedepannya komitmen di keluarga dan pekerjaan bisa berjalan dengan baik di kehidupan saya ya! :D
PS. Terima kasih Melati atas inspirasinya.
PPS. Terima kasih juga untuk survey work-life balance yang diadain kantor saya sehingga menginspirasi tulisan ini. :)
still wondering bout that..*sigh*
ReplyDeleteintinya emang hidup balance. antara kerja dan keluarga.
ReplyDeletetentang gimana keputusannya, itu tergantung kondisi masing2 orang... :)